Aku Bukan Panji Sakti, tetapi Anggap Saja Ini Kepada Noor

Hari ini lumayan menarik. Seperti halnya aku, pandangmu berpendar, bukan? sepertinya aku mengigau terlalu panjang, menguap terlampau lebar. Hidup yang didalamnya sejuta sandiwara saling menyapa ini cukup menarik ketika engkau muncul dari ketiadaan dan kita saling mengenal. Ya, Kamu. Manusia luar biasa yang aku kenal dari percakapan dan jejak digital akademik yang mulia. Darimu tak kutemukan celah untuk tidak suka, ketidaksempurnaanmu adalah bukti bahwa engkau masih manusia.

Aku tidak bisa mengarang lagu, bermain gitar atau seruling, dan menyanyikan pengantar tidur yang membawamu pada kantuk amat sangat. Aku terbatas. 

Aku tidak tahu apakah suatu saat nanti engkau bakal menemukan tulisan tengah malam ini, tepat setelah kita bercakap amat panjang, sikapmu yang seperti kopi, nikmat dan pahit yang memikat. Aku kecanduan. Bagaimana jika selamanya adalah ketika kita saling bicara? Ah, sungguh kudamba. 

Hei, sekalian, maka biarkan aku mengabsen tingkah laku menyebalkan yang kurasa memang menjadi kebiasaan, barangkali engkau akan menyadari bahwa betul engkaulah yang tengah aku bicarakan. Engkau bisa penuh ragu, keraguanmu menjadikanmu mendebat bahkan isi kepalamu sendiri. Aku gemas. Engkau sungguh menyebalkan tetapi tidak bisa aku benci seperti tengah memandang bayangan diri sendiri. Keputusanmu yang ragu itu, tetapi sejak awal sudah memutuskan, tetapi engkau ragu sembari berjalan ditengah keputusan, untuk eksekusi, engkau perlu ribuan pertimbangan. 

Dalam hal itu aku berterimakasih kepada apapun dan siapapun yang menempamu, membimbingmu, mengarahkanmu, mendorongmu, mengilhamimu, sebab keraguanmu adalah bukti bahwa hatimu amat perasa, dan kau pedulikan orang lain bahkan ketika lima puluh persen dirimu sudah bersiap egois. 

Berikutnya adalah engkau yang tidak berterus terang, kata-katamu mengambang ditengah informasi tidak sempurna. Engkau menggali pengetahuan, engkau memelihara rasa penasaran, melontarkan pertanyaan. Sementara tanyaku enggan kau jawab, seringkali kau abaikan, kau lewatkan, kau jeda sekian lama. Ah sialan, di dunia macam apa aku mengharap keadilan?

Kemudian engkau bercerita, amat rumpang dan tidak sempurna. Kepalaku yang banyak pertanyaan ini sungguh berisik, dan sekali lagi kau lewatkan. Sungguh tidak masalah engkau membuatku lama menunggu untuk menerima jawaban, namun tidak dengan sama sekali didiamkan. Seperti tengah menjahit dan tidak disimpul mati untuk sewaktu-waktu jarumya menyerang siapa saja. 

Engkau sungguh pandai berbasa basi, seperti Orang Jawa konvensional dengan ragam bahasanya yang licin dan mempesona. Kehidupan dua dasawarsa lebih lima bulan ini rupanya telah menyusunmu amat padat, dengan kepercayaan diri berbicara didepan khayalak, membagikan milikmu yang megah itu, pengetahuan. 

Namun, sepertinya engkau sempat memikirkan stigma sosial perihal penampilanmu, yang sesungguhnya amat indah itu. Lenganmu lengkap dua sempurna, dengan tanda lahir yang nampak seperti bayangan tertekuk pada sikumu. Kakimu sempurna, membawamu ke arah mana saja. Badanmu terawat dengan baik, engkau penuhi kebutuhannya dan ia menopangmu untuk tegak diatas bumi. Wajahmu pun lengkap tanpa cacat, matamu yang berbinar itu semakin memukau dengan bingkai dan kaca yang mengemban minus enam. Mata yang telah membantumu menyerap kehidupan hingga titik paling kecil, sayangilah, bukankah ia perantaramu pada mimpi-mimpi itu? buku buku yang engkau baca itu? 

Tidak kusangka kita memiliki lebih banyak kesamaan ketimbang perbedaan. Perbedaan itu amat indah, kutemukan padamu. Kubelajar darimu. Indah, indah sekali. Pertama kita sama-sama manusia, itu mencakup lebih dari tujuh puluh persen kesamaan. Sisanya soal detail ragam bahasa, isi kepala, dan lain lain itu ya, biarkanlah. Aku punya seumur hidup untuk mengenalmu. Bahkan mungkin sebelum hidup aku sempat bersinggungan denganmu, dan mungkin setelah hidup juga kita bertemu. Terimakasih untuk kesempatannya. Terimakasih telah singgah dalam ruang bicara.

 Aku bilang tidak menemukan celah tidak suka bukan berarti engkau tidak menyebalkan. Engkau sangat menyebalkan. 

Pun engkau bersinar terang, seperti namamu, seperti harapan orang-orang yang mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Apa?

Kepada Rah