Untuk Apa?

Untuk Apa? 

Hai, namaku Dissa. Remaja biasa berusia dua puluh satu, kalau masih bisa dianggap begitu. Dan ini adalah catatan kecil soal kekecewaanku. Seorang gadis desa biasa yang mengadukan hidupnya ditengah hiruk pikuk perkuliahan yang jauh dari film-film maupun drama lokalan. Jika engkau bertanya bagaimana perasaanku, jawabannya adalah campur aduk. Ini mengesankan. Pun menyakitkan. 

Aku mengawali ceritaku dengan janji-janji asing dari kawan dekat yang kuanggap bagai pertalian darah. Namun rupanya itu tidak cukup untuk membuatku menerima timbal rasa yang sama. Sejak sejam terakhir, aku belum beranjak dari situs website pengumuman penerimaan keanggotaan organisasi yang seminggu yang lalu kudaftar. Aku betul-betul antusias bakal melihat namaku sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Siapapun mungkin akan heran melihat mataku yang berkilau penuh harapan bercampur sedikit rasa cemas yang menyelimuti dada. Aku sudah menyiapkan segalanya: kemampuan, pengalaman, bahkan harapan besar akan kesempatan yang seharusnya sudah ada di depan mata.

Sejak awal, tujuanku bergabung ialah untuk menjadi bagian dari Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Ketertarikanku, keyakinanku, dan kemampuanku hampir seluruhnya berkaitan. Aku cukup lihai melalui pelatihan dan pengembangan diriku selama ini. Bagiku, posisi di departemen ini bukan hanya sekadar kesempatan, melainkan impian yang sudah kususun selama berbulan-bulan. 

Aku banyak bercerita kepada Rendi, sahabat dekatku yang mengajak untuk bergabung di organisasi tersebut. Selama ini, aku selalu menganggapnya sebagai seseorang yang memahamiku dengan baik. Seperti halnya aku yang merasa mengelanya dengan baik. Rupanya, aku salah. 

Apa yang terjadi selanjutnya benar-benar mengecewakan.

Rendi sama sekali tidak memberitahuku bahwa ia telah menjadi kepala departemen yang akan memilih siapa saja yang diterima. Lebih pahit lagi, ternyata ia menjadi Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia yang sangat ingin kumasuki. Tak pernah ada kejelasan sejak awal, tak ada kata-kata jujur dari Rendi yang memberi tahu bahwa ada kemungkinan besar aku ditempatkan di bagian lain yang sama sekali tidak kuminati. Disisi lain, Rendi justru menyemangatiku dan memberi harapan bahwa aku akan diterima di posisi departemen itu. 

Hari ini, pengumuman resmi dilakukan di laman website organisasi. Aku menahan napas, menunggu dengan hati penuh harap. Aku melihat berulang-ulang atas bawah di bagian Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Namun, nama yang muncul di daftar penerimaan justru bukan namaku. Tidak ada namaku. Aku merasa dunia seolah berhenti berputar. Di halaman lain, aku melihat namaku dibagian paling ujung, seperti nama yang asal diletakkan disana. 

Pada hari pelantikan, aku melihat Rendi yang berdiri di depan, dengan senyum yang tampak sangat biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak kulihat sepercikpun rasa bersalah dari kilat matanya yang membuatku amat mual dan ingin muntah. Dia bahkan masih menyapaku seperti biasanya. Omong kosong, teman apanya. Kuisyaratkan kekecewaanku ketika mataku bertemu pandang dengannya. Sepertinya, isyarat itu menggerakkannya untuk menyapaku setelah acara selesai.

"Dissa," panggilnya setelah acara selesai, "Kamu kenapa? Aku ada salah sama kamu?" tanyanya dengan nada yang seolah terdengar seperti ini anak kenapa sih?. Aku semakin tenggelam dalam rasa kecewa. 

"Katamu kamu bukan kepala departemennya, katanya aku bisa masuk departemen yang kupilih, apa? ini jawabannya? aku sekali lagi harus menelan pil pahit ini?  Aku kecewa Ren, kupikir kita teman, sahabat malah." jawabku menahan amarah yang hampir bercamapur dengan tangis. 

"Aku... aku minta maaf. Sepertinya kamu belum berhasil kali ini." jawabnya sedikit kikuk.

Kuarahkan tajam mataku sebisa mungkin menembus batas kepalsuan dari katak-kata yang ia ucapkan, bibirku bergetar menahan kecewa. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Rendi? Kenapa kamu nggak jujur? Aku sudah bilang kalau aku ingin sekali masuk ke departemen itu."

Rendi terdiam. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ia hanya bisa memalingkan wajah, seakan tidak mampu menatapku yang jelas terluka. Aku merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar penolakan yang ia terima. Ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak terucapkan. Apakah sebegitunya Rendi tidak memercayaiku? Apakah aku seburuk itu? Apakah aku begitu tidak pantas? Kata-kata itu bagaikan nyanyian gagak di tengah pemakaman yang memekakkan telingaku. 

"Apa kamu tahu betapa aku berharap bisa masuk ke departemen itu? Kenapa kamu nggak bilang kalau aku nggak punya kesempatan?" Aku mulai kehilangan kesabaran. "Kamu tahu betul aku sangat menginginkannya. Tapi kamu malah diam saja, seolah tak peduli."

Rendi akhirnya menatapku dengan pandangan yang penuh penyesalan. Aku berusaha menembusnya, namun nihil, pandangan itu terasa hambar dan tidak terbentuk dari serangkaian ketulusan. "Disa... aku nggak tahu harus mulai dari mana. Sebenarnya, sejak awal, aku sudah tahu kalau hanya ada satu kesempatan, dan aku... aku sudah memilih orang lain. Aku... aku cuma nggak mau bikin kamu kecewa."

Aku menatapnya gamang. Semut yang merangkak di dinding dan nyamuk berterbangan pun bisa menangkap kesedihan mataku. "Tapi kenapa kamu nggak bilang itu dari awal? Kenapa kamu biarkan aku berharap? Kamu seharusnya lebih jujur padaku, Rendi. Kalau bisa ya katakan bisa, tidak ya tidak!"

Rendi terlihat tertekan, kepalanya mencari celah untuk pembenaran-pembenaran dari tindakannya. Pembenaran untuk kepahitan yang kutelan, yang bahkan ia tidak perlu bertanggung jawab. "Aku... aku nggak tahu harus bagaimana, Disa. Aku takut kalau aku bilang yang sebenarnya, kita akan jadi jauh. Aku nggak ingin kehilangan persahabatan kita."

"Apa itu lebih penting daripada kejujuran, Rendi?" suaraku semakin gemetar. "Kamu lebih memilih untuk menjaga persahabatan yang tidak jelas, daripada memberi tahu aku kenyataan yang pahit. Itu lebih menyakitkan daripada penolakan. Aku.. aku kecewa Ren"

Rendi terdiam lama, wajahnya susah payah merangkai penyesalan. "Aku benar-benar minta maaf. Aku salah. Aku... aku nggak ingin kamu merasa begini."

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski batinku terasa hancur. Aku tertawa kecil. "Kamu benar-benar membuatku merasa bodoh, Rendi. Harusnya aku sudah tahu sejak awal kalau keputusan itu bukan berdasarkan kemampuan, tetapi karena faktor lain. kamu memang tidak menginginkanku. Tapi aku terlalu percaya padamu."

Dengan langkah yang berat, aku berbalik dan berjalan meninggalkan Rendi. Lelaki itu masih bergeming. Kekecewaan begitu penuh menyelimuti hati dan pandangku yang kabur pada hal-hal baik lainnya untuk beberapa lama. 

Hampir tiga bulan berlalu, kupahami bahwa air akan keruh bila di diamkan terlalu lama, pun kekecewaan. Mungkin sudah saatnya untuk melangkah sendiri. Kejujuran yang tak pernah datang membuatku harus belajar menerima kenyataan pahit, meski itu datang dari seseorang yang selama ini kuanggap sebagai sahabat dekat.

Aku tahu, aku sudah memaafkan Rendi. Meskipun begitu, mengingatnya tak pernah luput dari rasa mual yang membuat perutku bergejolak. 

Namun, aku menyadari di luar sana dunia ini masih penuh dengan kesempatan. Dan meskipun hari itu terasa begitu pahit, aku bertekad untuk terus maju, mencari jalan yang lebih jelas, yang tidak dipenuhi dengan kebohongan juga harapan mengambang yang tidak jelas wujud rupanya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bukan Panji Sakti, tetapi Anggap Saja Ini Kepada Noor

Kepada Rah