Teruntuk yang Hilang, Sempat Kudamba Abadi
Ada banyak
hal yang berubah dalam sudut pandang dunia ini. Fajar yang mengambangnya diatas
permukaan pohon – pohon berembun tak lagi mengucapkan selamat pagi yang lebih
ramah dari kematian. Mahatari dalam merangkak konon lebih kejam, sinar hangatnya
kini menebar amat luas dan melewatiku dalam cahaya samar di sudut kelam jagat
raya, tak terjamah, tak juga dijamah. Burung berkicau kini asing, sepi. Padahal
aku di tengah gunung yang belum lepas rimbun hutannya. Atau ini sepenuhnya
salahku? Yang terlalu berambisi memupuk rindu tanpa hirau bahwa gersang
ternyata semakin benderang?
Hidup ini
sekali maka jalanilah saja, katanya. Tetapi manusia tidak lebih dari seonggok
pasir yang sendiriannya tidak berarti, sebelum ia membesar menjadi batu karang
yang tahan oleh serangan beruntun ribuan gelombang. Yang dalam hidupnya
merelakan tubuhnya ditumbuhi lumut, ditinggali ikan kecil yang tersisa selepas
gelombang pasang, atau kepiting-kepiting yang lebih mirip laba – laba. Apakah
hidup sebongkah batu berharga? Atau apakah dia hidup?
Aku melihat
ombak yang bergulung. Pada suatu masa aku melihatnya tenang melipat arus deras
diterbangkan angin, menyapa bibirnya yang lebih landai dari segala penerimaan
yang telah kuupayakan. Ada pula pada hari yang lain aku membaca ia gamang.
Mengangkat dirinya tinggi – tinggi dan menggempur batu karang hingga
melompatlahamat tinggi dengan debur yang menakjubkan, lantas berlomba – lomba
dengan sisi yang lain untuk menyapu pantai pasir putih setengah landai, yang
kemudian ia bertabrakan dengan gelombang utuh, terkadang terpecah, dan hanya
sisa-sisa tariannya menyapa kaki milikku yang telanjang.
Apa yang
aku ambil dari kisah sebuah gunung yang kian gersang, batu karang dengan
kepasrahannya akan hidup dan dihidupi, serta gelombang yang labil layaknya jiwa
setiap remaja? Entahlah. Aku pun tidak cukup dewasa untuk memecahkan segala
persoalan. Dalam hidup yang sungguh telah aku coba hidupi, aku bergulat dengan
dewi Durga yang memaksaku meniarapkan sang Uma. Padahal keduanya esa, namun bergulat
sengit di tengah laga yang diselenggarakan oleh akal, budi, nafsu, dan angkara
yang kian besar hulu ledaknya. Aku ini seperti bom waktu, dan aku adalah
sepotong hidup ditengah kehidupan yang sama nyala apinya. Aku tidak tahu kapan
laga ini meledak dalam kehancuran yang menghancurkan butir – butir pasir yang
kutumbuhkan batu karang satu demi satu, bibit pohon kecil yang merupakan
pemberian – lama aku upayakan untuk tidak mengering, serta gelombang yang
pasrah kubiarkan menerpa bersamaan dengan angin laut hangat. Aku tidak tahu
berapa banyak yang sanggup ditahan oleh batu karang – pasir setengah jadi, akar
seperempat umur yang belum kokoh pijakannya, dan gelombang yang senantiasa aku
upayakan untuk stabil. Tidak ada kehendak alam yang dapat aku hilangkan, karena
sejatinya kita melihat pertanda, bukan menciptakan.
Seperti
halnya engkau ialah pemberian semesta yang amat indah, seperti permata hingga
aku merayumu untuk menggemerlapkan batu karang pasirku yang redup, menawarimu
untuk bersama merawat sebatang pohon hidup, dan memecahkan gelombang pasang –
surut satu sama lain. Bhatari Durga mendambakanmu, namun Uma menolak dengan
amat serius kehadiranmu lantaran bakal membuatku celaka oleh jumawa, sombong
yang sumbing, sumbang nadanya. Walaupun durga tak seluruhnya salah dan Uma
sepenuhnya benar, bahwa menganggapmu milikku ialah bagian dari hidup yang tidak
kubutuhkan untuk memperkuat batu karangku, meluaskan jangkauan akar pohonku,
serta mengendalikan gelombangku. Pada akhirnya ada segelintir bagian sukma yang
terkikis dan tengah mati – matian aku perbaiki dengan cara – cara sederhana.
Lebih lama rupanya.
Aku
ternyata masih sepenuhnya sepotong jiwa yang setengah rapuh, seonggok raga yang
tak sempurna bentuknya namun sejatinya indah. Walau kelak mungkin ia akan membusuk
dan tinggal belulangnya belaka, tetapi jiwa rapuh ini akan menguat seiring
waktu hingga ia sanggup bertahan sendirian, memeluk kebahagian yang tiada
habisnya. Mungkin memang benar, hadirmu sebagian besar memang memperkuat
kehendakku yang sering dipertaruhkan oleh laga Durga dan Uma. Tetapi
terimakasih atas petunjuk Sang Pangeran Jagat Raya, memberiku jiwa yang
merdeka, yang telah ia beri kitab mahabijaksana pada suatu masa yang kini masih
lepas dari ingatan. Tetapi wejangan itu sungguh asli, nampak dan tak nampak.
Yang bisa kita lihat oleh mata lahiriah telah dibawa oleh Sang Rasul ribuan
tahun lampau, dan wejangan ghoib telah dipegang oleh jiwa yang bernama akal,
entah dalam suatu masa yang kapan. Titah Sang Pangeran menjadi guru hidup, dan
begitupulalah kehidupan tidak boleh lepas darinya.
Komentar
Posting Komentar