Postingan

Apa Lagi?

Selamat malam, Namaku Rahayu. Aku sengaja memilih bagian namaku yang paling tradisional demi setara denganmu-yang mana sepertinya tidak semudah itu.  Selamat datang, selaku kuucapkan selamat datang ketika engkau memilih untuk bertanya kepadaku ketimbang ratusan opsi dalam daftar kontakmu. Aku selalu suka menjadi orang yang dipilih. Aku selalu suka dilibatkan dalam sesuatu walaupun kecil-kecil saja.  Katamu, aku sebaiknya mencoba rutin menulis blog seperti yang kau lakukan ketika sekolah menengah. dari situ saja kau sudah mencetak sebuah tanda dalam kepalaku, bahwa langkahmu memang beberapa kali lebih jauh, jangkahmu yang lebih lebar. Dan kemudian aku berfikir bahwa memang kita tidak berdiri diatas kapal yang sama walau tengah berlayar melintasi samudera yang sama. Mungkin, saat itulah kita berpapasan. Hingga hari ini.  Kita pertama saling memandang dengan baik melalui pertemuan yang suci. Maka dalam mengenalmu selalu kuusahakan dengan cara-cara yang suci. Ah, tidak begitu...

Untuk Apa?

Untuk Apa?   Hai, namaku Dissa. Remaja biasa berusia dua puluh satu, kalau masih bisa dianggap begitu. Dan ini adalah catatan kecil soal kekecewaanku. Seorang gadis desa biasa yang mengadukan hidupnya ditengah hiruk pikuk perkuliahan yang jauh dari film-film maupun drama lokalan. Jika engkau bertanya bagaimana perasaanku, jawabannya adalah campur aduk. Ini mengesankan. Pun menyakitkan.  Aku mengawali ceritaku dengan janji-janji asing dari kawan dekat yang kuanggap bagai pertalian darah. Namun rupanya itu tidak cukup untuk membuatku menerima timbal rasa yang sama. Sejak sejam terakhir, aku belum beranjak dari situs website pengumuman penerimaan keanggotaan organisasi yang seminggu yang lalu kudaftar. Aku betul-betul antusias bakal melihat namaku sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia. Siapapun mungkin akan heran melihat mataku yang berkilau penuh harapan bercampur sedikit rasa cemas yang menyelimuti dada. Aku sudah menyiapkan segalanya: kemampuan, pengalama...

Rah, 03

  Hi, it's me again, Rah!  Sebenarnya Rah itu punya banyak makna. Pertama aku memang bernama Rahayu, kedua Rah adalah Si Tanpa Mahkota dalam cerita fiksi Darwis Tere Liye (kalau engkau bisa menebak maknanya, itu cukup menyebalkan, jujur, seperti aku yang tidak pernah mendapatkan mahkota yang ingin kupasang diatas kepala), dan tiga huruf terakhir dalam Amarah. Ya, dalam dadaku pernah menyala api kemarahan pada setiap kesempatan yang terlewat, harapan yang kandas, juga manusia-manusia menyakitkan.  Pagi ini aku gagal mengalahkan diri untuk bangun lebih pagi. Pun gagal memulai hari dengan menyelesaikan kewajiban yang (sesungguhnya) amat sederhana. Tetapi ada kemalasan-kemalasan memasak yang berhasil kukalahkan. Aku lumayan bangga untuk itu.  Memaksa diri untuk selalu merayu Tuhan, siang ini lumayan berhasil. Tapi untuk berhasil tidaknya, jelas diluar kuasaku.  Aku berterima kasih untuk seorang teman dekat yang memberikan validasi impian kecil lewat pertanyaan seder...

Kepada Rah

  Pilihanmu, untuk tetap tegak diterpa musim . Hi, disini aku mau ngaku-ngaku Rahayu. Panggil aku Rah!  Pagi tadi, selepas subuh aku sengaja menyapa udara lembab dan gerimis. Sebatang pohon yang entah berapa puluh tahun usianya masih tegak berdiri tanpa daun-daun di musim hujan. Mungkin, ia memang tidak diinginkan. Tetapi ia masih tegak. Akarnya masih menghujam tanah-tanah basah.  Pagi tadi, kepalaku membangun rencana-rencana kecil. Seperti misalnya memperbaiki penyesalan yang kutumpuk rapi diatas lembaran-lembaran yang memuakkan. Sekali lagi, terlewatkan. Aku terlalu sibuk berlari, mencari-cari pegangan yang justru membawaku semakin jauh. Dan semakin tak bertenaga.  Pagi tadi, aku menyiram dahaga jiwa, merayu Sang Pencipta. Sebab dalam cipta-Nya ada aku, kau, dan hal-hal baik yang mengagumkan. Seluruh hariku menjadi sedikit lebih melegakan. Segala yang nampak sederhana membuatku membayangkan kebaikan-Nya yang memang tanpa cela.  Sepanjang siang, rencanaku jelas...

Kenang Genang

Kepada Semarang ramai, pintu-pintu yang tertutup Jalan-jalan sempit dihimpit temaram Gelap menunggu gelisah Binatang-binatang saling bergosip Gemintang berkedip-kedip Ada, yang tak cukup, kesana-kemari Meraup percaya bersama lembabnya udara sisa hujan sepanjang sore Genangan seperti cermin besar yang menjebak  Dia melompat dengan sisa-sisa ceria Cerita yang bosan itu mengular pada telinga-telinga  Yang tidak begitu ingin mendengar  Dia penuh ceria  Cerita diulang-ulang pada telinga-telinga  Penuh ceria Ah! Teriaknya keras Tetapi bahkan lumut-lumut itu enggan bereaksi Malam bergeming Tidak berbeda dengan detik sebelumnya. Sekaran, 21 November 2024

Aku Bukan Panji Sakti, tetapi Anggap Saja Ini Kepada Noor

Hari ini lumayan menarik. Seperti halnya aku, pandangmu berpendar, bukan? sepertinya aku mengigau terlalu panjang, menguap terlampau lebar. Hidup yang didalamnya sejuta sandiwara saling menyapa ini cukup menarik ketika engkau muncul dari ketiadaan dan kita saling mengenal. Ya, Kamu. Manusia luar biasa yang aku kenal dari percakapan dan jejak digital akademik yang mulia. Darimu tak kutemukan celah untuk tidak suka, ketidaksempurnaanmu adalah bukti bahwa engkau masih manusia. Aku tidak bisa mengarang lagu, bermain gitar atau seruling, dan menyanyikan pengantar tidur yang membawamu pada kantuk amat sangat. Aku terbatas.  Aku tidak tahu apakah suatu saat nanti engkau bakal menemukan tulisan tengah malam ini, tepat setelah kita bercakap amat panjang, sikapmu yang seperti kopi, nikmat dan pahit yang memikat. Aku kecanduan. Bagaimana jika selamanya adalah ketika kita saling bicara? Ah, sungguh kudamba.  Hei, sekalian, maka biarkan aku mengabsen tingkah laku menyebalkan yang kurasa me...

Teruntuk yang Hilang, Sempat Kudamba Abadi

  Ada banyak hal yang berubah dalam sudut pandang dunia ini. Fajar yang mengambangnya diatas permukaan pohon – pohon berembun tak lagi mengucapkan selamat pagi yang lebih ramah dari kematian. Mahatari dalam merangkak konon lebih kejam, sinar hangatnya kini menebar amat luas dan melewatiku dalam cahaya samar di sudut kelam jagat raya, tak terjamah, tak juga dijamah. Burung berkicau kini asing, sepi. Padahal aku di tengah gunung yang belum lepas rimbun hutannya. Atau ini sepenuhnya salahku? Yang terlalu berambisi memupuk rindu tanpa hirau bahwa gersang ternyata semakin benderang? Hidup ini sekali maka jalanilah saja, katanya. Tetapi manusia tidak lebih dari seonggok pasir yang sendiriannya tidak berarti, sebelum ia membesar menjadi batu karang yang tahan oleh serangan beruntun ribuan gelombang. Yang dalam hidupnya merelakan tubuhnya ditumbuhi lumut, ditinggali ikan kecil yang tersisa selepas gelombang pasang, atau kepiting-kepiting yang lebih mirip laba – laba. Apakah hidup sebongk...